Modoers
28 Agustus 2025
Oleh: Kenny Soejatman
Banyak investor terpikat dengan cuan besar dari saham teknologi Amerika seperti NVIDIA. Namun, di balik gemerlap Wall Street, peluang menarik justru bisa ditemukan lebih dekat di rumah sendiri: pasar saham Indonesia. Dengan valuasi yang masih tergolong murah dibandingkan GDP, IHSG menyimpan potensi hidden gem yang sering luput dari perhatian investor global.
Suatu sore di lobby The Palace Hotel, San Fransisco, Nyonya Sari Tanuwijaya hadir dengan tas Birkin model Himalaya hadiah anniversary dari suami tercinta. Dari lift muncul, Nyonya Laksmi Hartono, teman sekelasnya di pastry school Institut Cordon Bleu Paris angkatan 2012.
“Sari, sayang!” seru Laksmi dengan nada yang merdu seperti gamelan kekinian. “Surprise banget ketemu di sini. Lagi healing di California?”
Sari mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk pamer cuan di investasi saham Tech AS. “Setelah gue untung main di NVIDIA, boleh dong main ke US sambil nengok anak yang lagi kuliah Business Administration di UC Berkeley.”
“Wah, congrats ya Saar. Emang harganya naik berapa?” Laksmi mulai teringat kebiasaan Sari yang dari dulu gemar pamer kekayaan.
“Naiknya sih 1300 persen dari gue mulai investasi tahun 2015,” Sari menjawab dengan percaya diri.
Laskmi mulai tersenyum manis, ternyata jurus main saham US Tech Sari masih kalah sama investasinya di saham Indonesia. Karena Laksmi teman yang baik, dia spill ke Sari kenapa mendingan invest di saham Indonesia:
“Saham Tech di AS emang naik banyak. Tapi hati-hati Sari, harganya udah mahal banget deh. Saham S&P500 sekarang gede banget market capnya, udah 211% lebih tinggi dari GDP AS. Indonesia masih murah tuh, IHSG market capnya masih cuman sekitar 55% dari GDP.”
“Ya tapi saham Tech kan beda dari saham biasa Laksmi...?” Sari menyerang balik Laksmi, yang kemudian balik menjawab:
“Bener Sari, saham tech emang growth prospectnya bagus banget. Tapi nilai kapitalisasi saham tech Magnificent Seven kaya NVIDIA masa udah hampir lima kali lipat semua saham AS yang lain? Ini kan lebih parah dari dot com bubble. Gue sih masih prefer invest di Indo. Valuasi lebih oke.”
Sari masih berusaha mempertahankan harga diri. “Growth-nya kan unlimited Laks, AI bakal take over the world.”
Melihat temannya kelihatan desperate, Laksmi masih sabar dan menjelaskan:
“Yes, lu bener Sari, growth-nya AI emang bisa jadi unlimited. Tapi perusahaan AS pada belum bisa make money dari AI. Kan training costnya mahal, sementara perusahaan AS kebanyakan baru pake AI untuk chatbot customer service. Itu cost savingnya kan minim, cuma 5% perusahaan Amerika profitnya bisa naik dari AI. Ini kesimpulan risetnya MIT lho.”
Sari mencoba lagi untuk menang argumen. “Tapi kan saham gue NVIDIA ada yang bisa naik 1300% sejak 2015. Emang saham lu di Indo bisa naik segini banyak?”
Jari Laksmi terlihat mulai memainkan screen iPhone 16-nya.
“OK Laksmi naik 1300% bagus sih, tapi di Indo juga banyak yang jadi bagger. Misalnya gue nyobain masuk ke MLPT tahun itu juga. Naiknya sampai sekarang udah 7700%. Bagusan saham tech-nya Indo dong hahaha.”
Sari mulai menyesal flexing cuan sahamnya salah sasaran. Ternyata dia underestimate Laksmi. “This means war. Gue harus get even,” sumpah Sari terhadap dirinya sendiri setelah berpisah dengan Laksmi.
Seminggu kemudian setelah landing di CGK dari LAX (Cathay Pacific, Business Class dengan Aria Suite), dia langsung research deep dive saham Indonesia dengan meminjam Bloomberg Terminal suami.
“Siapa tahu ada saham Indon lain seperti MLPT yang harganya belum naik,” Sari bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. “Gimana ya cara Laksmi nyari saham? Di mana ya hidden gem di IHSG…?”
(to be continued)
Pasar saham Indonesia masih menyimpan banyak potensi dengan valuasi yang lebih masuk akal dibandingkan saham teknologi di AS. Buat investor yang ingin mencari peluang jangka panjang, mengenali hidden gem di IHSG bisa jadi strategi yang menarik.
Baca juga:
(to be continued)
Modoers
20 Agustus 2025
Modoers
29 Juli 2025